Pendidikan Wajib Belajar ( Wajar ) 9 Tahun dan Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
oleh Muhammad Ilyas Ismail
A. Pendahuluan
Pada umumnya, orang yakin bahwa dengan pendidikan umat manusia dapat
memperoleh peningkatan dan kemajuan baik di bidang pegetahuan,
kecakapan, maupun sikap dan moral. Suyanto (1993:9), memandang
pendidikan sebagai sarana intervensi kehidupan dan agen pembaharu.
Sedangkan Dedi Supriadi (1993:7), meyakininya sebagai instrumen untuk
memperluas akses dan mobilitas sosial dalam masyarakat, baik vertikal
maupun horizontal.
Anggapan dan keyakinan seperti yang dikemukakan di atas akan semakin
memantapkan dan memperkokoh arti pendidikan dalam upaya menciptakan
peningkatan kualitas peserta didik atau yang lebih dikenal upaya
pengembangan sumber daya manusia, terurama dalam era memasuki abad 21
yaitu abad globalisasi.
Memperhatikan peranan dan misi pendidikan bagi umat manusia ini.
tidaklah berlebihan apabila pihak yang bertanggung jawab di bidang
pendidikan menggantungkan harapannya pada sektor pendidikan dalam rangka
mengembangkan dan mengoptimalkan segenap potensi individu supaya dapat
berkembang secara maksimal. jadi sudah selayaknya apabila setiap warga
negara mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan menurut
kemampuan. (Dedi Supriadi, 1993:8).
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun merupakan perwujudan
amanat pembukaan UUD 1945 dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
serta pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan (1) Tiap-tia warga negara berhak
mendapat pengajaran dan (2) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan
undang-ungang.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam tulisan ini
dikemukakan permasalahan pokok sebagai berikut : Bagaimana fungsi
pendidikan terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia. Untuk
menjawab permasalahan ini, maka pembahasan dinaulai dengan pendidikan
Wajib belajar 9 Tahun, fungsi Pendidikan wajib belajar 9 tahun dan
peningkatan kualitas SDM.
B. Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah UUD 45 Bab
XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara
berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung implikasi bahwa sistem
pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang
seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Dengan demikian, dalam
penerimaan seseorang sebagai peserta didik, tidak dibenarkan adanya
perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas jenis kelarruin, agama, ras,
suku, Tatar belakang sosial dan tingkat kemampuan ekonomi.
Program pendidikan wajib belajar di Indonesia telah dirintis sejak tahun
1950. Dalam UU nomor 4 tahun 1950 jo UU nomor 12 tahun 1954 telah
ditetapkan bahwa setiap anak usia 8-14 tahunterkcna pendidikan wajib
belajar. Namur program pendidikan wajib belajar yang dicanangkan oleh
pemerintah belum dapat berialan sebagaimana mestinya, karena adanya
pergolakan pohtik secara tetus-menerus. (A. Daliman, 1995:138).
Gerakan pendidikan wajib belajar sebagai suatu gerakan secara nasional
dan sekaligus sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional
dimulai sejak Pelita IV. Pada hari pendidikan nasional tanggal 2 Mel
1984 secara resm'l Presiders Suharto mencanangkan dimulainya pelaksanaan
dan penyelenggaraan pendidikan wajib belajar.
Pada tahap im penyelenggaraan pendidikan wajib belajar masih terbatas
pada tingkat Sekolah Dasar. Berbeda dengan pendidikan wajib belajar
tahun 1950, maka pendidikan wajib belajar tahun 1984 ini lebih diarahkan
kepada, anak-anak usla, 7-12 tahun.
Dua kenyataan mendorong segera (illaksanakannya gerakan pendidikan wajib
belajar tersebut. Kenyataan pertama, ialah masih adanya anak usia 7-12
tahun yang belum pernah bersekolah atau putus sekolah pada tingkat
sekolah dasar, Pada tahun 1983 terdapat sekitar 2 juta anak usia 7-12
tahun yang terlantar dan putus sekolah pada tingkat sekolah dasar.
Sedangkan pada saat dicanangkannya pendidikan wajib belajar pada tahun
1984 masih terdapat anak berusia 7-12 tahun sekitar kurang lebih 1,5
juta orang yang belum bersekolah. Kenyataan kedua, ialah adanya
keinginan pemerintah untuk memenuhi ketetapan GBHN yang telah
mencanturnkan rencana penyelenggaraan pendidikan wajib belajar sejak
GBHN 1978 maupun GBHN 1983. Gerakan pendidikan wajib belajar yang
dimulai 2 Mel 1984 dipandang sebagai 9
pemenuhan janji pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana
pendidikan dasar secara cukup dan memadai, sehingga cita-cita
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaksud dalam Pembukaan UUD
1945 segera dapat diwujudkan. (Haris Mudjiman, 1994:1-2).
Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9
tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP)
yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini
sesuai dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional,
kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada pasal 34 sebagai berukut:
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib
belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan
oleh lembaga pendidikan. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Di dalam GBHN 1993, dicantumkan bahwa pemerintah harus berupaya untuk
memperluas kesempatan pendidikan baik pendidikan dasar, pendidikan
menengah kejuruan, maupun pendidikan profesional, melalui jalur sekolah
dan jalur luar sekolah. Dalam rangka memperluas kesempatan belajar
pendidikan dasar, maka pada tanggal 2 Mel 1994 pemerintah mencanangkan
program pendidikan wajib belajar 9 tahun. lebih lanjut dikemukakan bahwa
tahap penting dalam pembangunan pendidikan adalah meningkatkan
pendidikan wajib belajar 6 tahun menjadi 9 tahun. (Sri Hadjoko
Wirjornartorio, 1995:49, Ahmadi, 1991:74,182).
Pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut konsepsi pendidikan semesta
(universal basic education), yaitu suatu wawasan untuk membuka
kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran utamanya adalah menumbuhkan
aspirasi pendidikan orang tua dan peserta didik yang telah cukup umur
untuk mengikuti pendidikan, dengan maksud untuk meningkatkan
produktivitas angkatan kerja secara makro.
Maksud utamanya adalah agar anak-anak memiliki kesempatan untuk terus
belajar sampai dengan usia 15 tahun, dan sebagai landasan untuk belajar
lebih lanjut baik dijenjang pendidikan lebih tinggi maupun di dunia
kerja. (Kelompok PSDM, 1992, Adiwikarta, 1988).
Pelaksanaan pendidikan wajib belajar 9 tahun telah diatur lebih luas di
dalam UU No: 20 tahun 2003. Bahwa sistem pendidikan nasional memberi hak
kepada setiap warga negara memperoleh pendidikan yang bermutu dan juga
berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat
(pasal 5 ayat 1 dan 5).
Bagi warga negara yang memiliki kelainan emosional, mental, intelektual,
dan atau sosial serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan
bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Demikian juga warga negara di daerah terpencil atau terkebelakang serta
masyarakat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus
(pasal 5 ayat 2, 3 dan 4). Lebih jauh dijelaskan bahwa pendidikan wajib
belajar 9 tahun bagi anak usia 7 sampai 15 tahun harus diselenggarakan
oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat tanpa
dipungut biaya. (Arifin, 2003: 11).
Merujuk pada paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami
bahwa ciri-ciri pelaksanaan pendidikan wajib belajar-9 tahun di
Indonesia adalah; (1) tidak bersifat paksaan melainkan persuasif, (2)
ddak ada sansi hukum, (3) tidak diatur dengan Undang-Undang tersendiri,
dan (4) keberhasilan diukur dengan angka partisipasi pendidikan dasar
yang semakin menmigkat.
Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar
belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun bag,
semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah:
1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya
berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat
Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan
dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura.
2. Dan' sudut pandang kepentingan ekonorm', pendidikan, dasar 9 tahun
merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dapat
member, nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan
rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, ditnungkinkar. bagi mereka dapat
memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih
beranekaragam (diversified).
3.Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar
peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam
sektor-sektor ekonomi atau sektor-sektor industri.
4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar
dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang lebih
tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan
meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar
peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan,
serta makna hidupnya.
5.Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal
angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15
tahun.
Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan
program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang
dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai
tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan
ilmu engetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan
ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan
hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan
untuk semua.
C. Pendidikan Wajib Balajar 9 Tahun dan Peningkatan Kualitas SDM
Sejak awal kemerdekaan para pendiri negara (the founding fathers)
telah memiliki komitmen untuk memenuhi hak asasi rakyatnya untuk
lemperoleh pendidikan, seperti yang termaksud dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 mencantumkan tujuan nasional;mencerdaskan
kehidupan bangsa yang secara konstitusional menjelma ke dalam pasal 31
UUD 1945, ayat (1) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran, sedang ayat (2) menegaskan kepada pemerintah
untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
2, maka berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan nasional ditetapkan untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam, rangka meencerdaskan kehidupan bangsa, untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi
serta bertanggung jawab (Arifin, 2003:29).
Pendidikan nasional berfungsi sebagi alat utama untuk mengembangkan
kemampuan serta meningkatkan mute kehidupan dan martabat bangsa.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan indirect investment bagi proses
produksi dan direct investment bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia (human quality).
Pendidikan akan meningkatkan dan mempertinggi kualitas tenaga kerja,
sehingga memungkinkan tersediinya angkatan kerja yang lebih terampil,
handal dan sesuai dengan tuntutan pembangunan serta meningkatkan
produktivitas nasional. (A. Daliinan, 1995:138, Adiwikata, 1988).
Berbagai penelitian di sejumlah negara maju telah membuktikan bahwa
pendidikan rnen-iililci kontribusi yang sangat tinggi terhadap
produktivitas nasional, dan dapat meningkatkan pendapatan nasional
(national income).
Sedangkan menurut Muhibbin Syah yang merujuk kepada pernikiran jean
Piaget dan L. Kohlberg mengemukakan bahwa pendidikan dilihat dan' sudut
psikososial merupakan upaya penumbuh kembangan sumber daya manusia
melalui proses hubungan interpersonal yang berlangsung dalam lingkungan
masyarakat yang terorganisir dalam hal ini masyarakat pendidikan dan
keluarga. (Muhibbin Syah, 1995).
Pandangan yang harnpir senada dikemukakan oleh Lawrence E. Shapiro
(199), Daniel Goleman (1997), bahwa pendidikan berperan untak
mengembangkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan emosional, lalu la
menambahkan bahwa kedua kederdasan ini harus di capai secara
bersama-sama, sebab betapa banyak orang yang rneniffiki kederadasan
kognitif yang tinggi, tetapi kederdasan emosionalnya rendah sehingga la
gagal dalam menjalangkan togas yang diembangnya.
Adapun Kecerdasan Ernosional yang dimaksudkan oleh Daniel Goleman adalah
mencakup kesadaran diri, kendali dorongan hati, ketekunan, semangat dan
motivasi diri, berempati, serta kecepatan sosial.
Dengan merujuk pada paparan di atas, maka untuk mencapai keberhasilan
atau kesuksesan harus melalui pendidikan, oleh karma itu pemerintah
Indonesia telah bertekad, sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN 1988.
Untuk mendukung dunia bare dituntut kualitas manusia Indonesia yang
mernadat.
Karena itu, pendidikan dasar 6 tahun yang dicanangkan 1984 dipandang
tidak mencukupi dan perlu ditingkatkan menjadi pendidikan dasar 9 tahun
yang mulai dipermaklumkan oleh Presiders Soeharto pada tanggal 2 Mei
1994, yang bertepatan pada hari Pendidikan nasional.
Pendidikan dasar 9 tahun diharapkan bahwa setup warga negara akan
memiliki kemampuan untuk memahami dunianya, mampu menyesuaikan diri
bersosiahsasi dengan perubahan masyarakat dan jaman, mampu meningkatkan
mutu kehidupan baik secara ekonomi, sosial budaya, politik dan biologis,
serta mampu meningkatkan martabatnya sebagai manusia warga negara dari
masyarakat yang maju. Dalam duni baru ini setiap orang harus memiliki
potensi untuk bekerja di berbagai bidang dimanapun )uga. (Soedijarto.
1985:5, Vembrirto, 1987)
Jika perluasan dan mutu pendidikan dilakukan di dalam kerangka
keterkaitan, maka pendidikan dasar 9 tahun secara langsung berfungsi
sebagai strategi dasar dalam upaya: (1) mencerdaskan kehidupan bangsa
karena diperuntukkan bagi semua warga negara tanpa membedakan golongan,
agama, suku bangsa, dan status sosial ekonomi; (2) menyiapkan tenaga
kerja industri masa depan melalui pengernbangan kemampuan dan
keterampilan dasar belajar, serta dapat menunjang terciptanya
pemerataan kesempatan pendidikan kejuruan dan profesional lebih lanjut;
dan (3) membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena
melalui wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun ini memungkinkan untuk
dapat memperluas mekanisme seleksi bagi seluruh siswa yang memiliki
kemampuan luar biasa untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih
tinggi. (Sir Hardjoko Wirjomartono, :995:49-50).
Pandangan yang hampir senada dikemukakan oleh Khaeruddin (1995), gerakan
wajib belajar 9 tahun pada dasarnya mempunyai maksud meningkatkan
kualitas bangsa. Melalui pelaksanaan wajib belajar 9 tahun di harapkan
setiap warga negara Indonesia memiliki kemampuan dasar yang diperlukan
dalam kehidupan bangsa yang lebih tinggi, sehingga secara politis mereka
akan lebih menyadari hak dan kewajiban, dan sebagai warga negara serta
mampu berperan serta sebagai tenaga pembangunan yang lebih berkualitas.
Dalam PP nomor 29 tahun 1990 dapat kita lihat adanya dua sasaran yang
ingin dicapai yaitu ; (1) pembekalan kemampuan dasar yang dapat
dikembangkan melnlw' kehidupan; (2) kemampuan dasar yang diperlukan
untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Sedangkan
Hadari Nawawi (1994), tujuan pendidikan dasar adalah untuk memberikan
bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan
kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat, warga negara clan
anggota umat manusia serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti
pendidikan menengah.
Pendidikan wajib belajar 9 tahun secara hukum merupakan kaidah yang
bermaksud mengintegrasikan SD dan SLTP secara konsepsional, dalam and
tanpa pemisah dan merupakan satu satuan pendidikan, pada jenjang yang
terendah. Pengintegrasian secara konsepsional yang menempatkan SD dan
SLTP sebagai kesatuan program, dinyatakan melalui kurikulumnya yang
berkelanjutan atau secara berkesinambungan. Kedua bentuknya tidak
diintegrasikan secara fisik dengan tetap berbentuk dua lembaga yang
terpisah, masmg-masingy dengan kelompok belajar kelas I sampai dengan
Kelas VI untuk SD dan Kelas I sampai Kelas III untuk SLTP. (Hadari
Nawawi, 1994:351).
Peran dan fungsi serta tanggung jawab pendidikan semakin besar bahkan
menentukan, khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya
manusia melalui pendidikan yang bermutu ini ditentukan dukungan dari
berbagai faktor, yaitu pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan
luar sekolah, pendidikan dasar, pendicilkan menengah serta pendidikan
tinggi.
Sejarah menunjukkan bahwa faktor terpendng yang menentukan keberhasilan
suatu bangsa bukanlah melimpahnya kekayaan alam melainkan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas. Dalam era kedua kebangkitan nasional,
SDM yang berkualitas adalah yang :
1. Memihki kemampuan dan menguasai keahlian dalam suatu bidang yang berkaitan dengan Ipt
2. Mampu bekerja secara profesional dengan orgientasi mutu dan keunggulan;
3. apat menghasilkan karya-karya unggul dan mampu bersaing cara global
sebagai hash dari keahhan dan profesionalismenya. avidiman
Suryohadiprodjo. 1987, Faisal, 246-252).
Dengan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sebuah bangsa akan
sanggup belajar dari kenyataan yang serba dinamis, sanggup mencari jalan
alternatif pemecahan masalah, serta sanggup mengembangkan pola-pola
pemikiran yang pada akhirnya akan dapat melahirkan strategis persaingan
unggul di era global.
Berdasarkan dengan semua kenyataan yang dipaparkan di atas, pelaksanaan
pendidikan dasar 9 tahun bukanlah susuatukemeNvahan i suatu keharusan
dan kebutuhan bukan Baja bagi negara dan arakat melainkan bag, setup
warga negara. Masalahnya yang dihadapi adalah bagaimana keharusan clan
kebutuhan Itu dapat dirasakan al kebutuhan setup warga negara dan bukan
kebutuhannya para at dan tokoh masyarakat.
Inilah tantangan dan tanggung jawab para pejabat pemerintah terutama di
lingkungan Departemen Pendidikan danKebudayaan serta Departemen Dalam
Negeri. Untuk berupaya menjadikan setiap anggota masyarakat merasakan
bahwa memperoleh pendidikan dasar 9 tahun adalah kebutuhannya.
Program pendidikan wajib belajar 9 tahun pada hakekatnya berfungsi
memberikan pendidikan dasar bag, sedap warganegara agar masing-masing
memperoleh sekurang-kurangnya pengetahuan clan kemampuan dasar yang
diperlukan untuk dapat berperan Berta dalam kehiclapan bermasyarakat,
berbangsa clan bernegara.
Dalam konteks pembangunan nasional wajib belajar 9 tahun adalah suatu
usaha yang harus dilakukan, untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia Indonesia agar memiliki kemampuan untuk memelihara dunianya,
mampu menyesuaikan diri dengan perubahan, mampun mern'ngkatkan kualitas
hidup dan martabatnya, dan wajib belajar diartikan sebagai pemberian
kesemptan belajar seluas-luasnya kepada kelompok usla sekolah untuk
mengikuti pendidikan dasar tersebut.
Gerakan Pendidikan wajib belajar 9 tahun merupakan perwujudan konstitusi
serta tekat pernerintah dan seluruh rakyat Indonesia dalam upaya
mencerdaskan kehidupan bangsa, untuk mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pembangunan pendidikan merupakan upaya menuju peningkatan kualitas
sumber daya manusia (SDM) dan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan
tercapainya salah satu tujuan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan
bangsa artinya meningkatkan kecerdasan kognitif dan kecerdasan
emosional.
Wajib belajar pada hakekatnya untuk memenuhi hak asasi setiap
warganegara untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan prinsip pendidikan
untuk semua (education for all). Tujuan adalah agar setiap warganegara
memperoleh pengetahuan dan kemampuan dasar yang diperlukan untuk
berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sumber : http://ilyasismailputrabugis.blogspot.com/2009/11/wajar-9-tahun.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar